Senin, 14 Juni 2010

Sunan Bonang

Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama
kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari
seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di
Tuban.
Sunan Bonang belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta.
Setelah cukup dewasa, ia berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok
Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah di Kediri, yang mayoritas
masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan Masjid Sangkal
Daha.
Ia kemudian menetap di Bonang -desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer timur
kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus pesantren yang
kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula sebagai imam resmi pertama
Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Meskipun demikian, Sunan
Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat
sulit.
Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.
Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di Tuban, di sebelah barat
Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih, usuludin,
tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan Bonang sebagai seorang
yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan Bonang berintikan pada filsafat 'cinta'('isyq). Sangat mirip dengan kecenderungan
Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman, pengetahuan intuitif (makrifat) dan
kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara
populer melalui media kesenian yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahumembahu
dengan murid utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah
satunya adalah "Suluk Wijil" yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr
(wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau burung laut.
Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Rumi serta Hamzah
Fansuri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu,
dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang
mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang "Tombo Ati"
adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai
membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-
Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi
(peniadaan) dan 'isbah (peneguhan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar